JAKARTA, KOMPAS.com - Harga bahan bakar minyak (BBM) disarankan naik. Hal itu untuk mengantisipasi neraca perdagangan Indonesia yang terus defisit.
Ekonom
Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menilai defisit neraca perdagangan
Indonesia tidak akan sebesar saat ini bila pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) segera menaikkan harga BBM.
"Kalau harga
BBM naik sejak April 2012, neraca perdagangan Indonesia tidak akan
defisit seperti saat ini. Apalagi impor migas kita juga besar. Otomatis
ini akan menambah defisit neraca perdagangan kita," kata Fauzi saat
konferensi pers di Hotel Mandarin Jakarta, Jumat (11/1/2013).
Menurut
Fauzi, dalam Undang-undang APBN 2013, pemerintah memang bisa
sewaktu-waktu menaikkan harga BBM jika kuota BBM bersubsidi jebol lagi.
Tahun ini kuota BBM bersubsidi di level 46 juta kl.
Kendati
demikian, Fauzi menginginkan agar pemerintah segera menaikkan harga BBM.
Hal itu untuk mengantisipasi neraca perdagangan yang terus defisit.
Apalagi harga komoditas saat ini juga terus anjlok dan masih
mempengaruhi ekspor Indonesia.
"Untuk menekan defisit,
satu-satunya cara cuma menaikkan harga BBM di tahun 2013 atau 2015.
Soalnya kalau tahun 2014, itu tahun pemilu. Ini agak susah," tambahnya.
Pada
tahun 2013 dan 2015, pemerintah dinilai masih memiliki fleksibilitas
untuk bisa menaikkan harga BBM. Apalagi dari pernyataan beberapa
pejabat, harga BBM memang diindikasikan untuk dinaikkan.
"Bahkan
meski harga BBM dinaikkan dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000, neraca
perdagangan kita juga masih defisit, namun memang tidak akan setinggi di
2012," tambahnya.
Hal ini disebabkan ekspor Indonesia masih akan
jatuh karena sekitar 65 persen ekspor Indonesia cenderung dari
komoditas. Di sisi lain, harga komoditas juga anjlok sehingga
menyebabkan neraca perdagangan jeblok.
Ditambah lagi, impor
Indonesia mayoritas juga dari sektor migas. Hal ini akan semakin menekan
nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing di dunia. Padahal Rupiah
seharusnya sesuai fundamentalnya justru menguat.